Rabu, 12 Desember 2007

Sudamala Meruwat Bangsa

Awas Prahara Guncang Jakarta

Tak lama lagi pergantian tahun terjadi. Dari tahun 2007 yang diwarnai berbagai musibah dan bencana, digantikan tahun 2008 yang belum ketahuan bentuknya.
Berdasar analisis pakar, situasi politik ke depan nampaknya belum menjanjikan ketenangan. Berbagai kerawanan akan tampil. Dan geger nasional, naga-naganya bakal kembali meletus. Sebab, di tahun 2009 nanti ada gawe nasional, yaitu Pemilihan Umum (Pemilu).
Sebagai warga bangsa, kita tak berharap negeri ini kembali masuk dalam kerusuhan dan konflik. Untuk itu penulis menyuguhkan sebuah ikhtiar secara metafisis, dengan melakukan ruwatan massal. Ruwatan itu tidak melalui pagelaran wayang ruwat, tetapi melalui tulisan, yang bagi mereka yang percaya, fungsinya sama saja.
Dalam Babad Ila-ila, kitab babon, sumber dari segala kejadian yang harus diruwat itu juga menyebutkan, bahwa ada ratusan peristiwa yang harus 'dibersihkan'. Dan cara pembersihannya bisa dilakukan melalui dua cara tersebut. Melalui pagelaran wayang dengan lakon 'Bethara Kala' dan membaca Serat Sudamala.
Begitu juga sejarawan Belanda, CC Berg, menyebutkan, ada dua bentuk penyucian diri yang dilakukan orang Jawa. Pertama melalui pagelaran wayang dengan cerita Bethara Kala, dan kedua, melalui pembacaan kitab kuno serat Sudamala. Serat ini diyakini bisa meruwat pendengar dan juga penuturnya.
Memang, segala berkah dan bala itu takdir dari Yang Maha Kuasa. Tapi sepanjang nyawa masih menyatu dengan badan, hakekatnya wajib hukumnya untuk terus melakukan ikhtiar.
Tulisan kali ini bertujuan untuk itu. Tak melulu sebagai pelipur lara. Sebab siratan makna dalam tulisan ini mengandung itu. Melakukan ruwatan massal melalui cerita. Bahan tulisan ini diambil dari serat kuno Kitab Kidung Sudamala. Sebuah kitab yang disakralkan bagi mereka yang percaya. Mereka meyakini, dengan mengikuti cerita ini, maka bakal terhindar dari musibah. Inti ceritanya, proses perjalanan Raden Sadewa yang membebaskan Betari Durga.Benarkah begitu? Hanya Allah yang tahu. Mulai besok kisah ruwatan itu akan dipaparkan secara bersambung. (bersambung/jok)


Sadewa Memasuki Hutan Angker


Suatu hari Raden Sadewa sedang mengelana memasuki hutan angker. Hutan itu gung liwang-liwung, jalmo moro jalmo mati. Siapa saja yang berani masuk, maka hanya akan kembali raganya. Sedang nyawanya melayang. Mati dimangsa binatang buas atau makhluk halus yang bergentayangan di hutan ini.
Membayangkan itu Raden Sadewa dihimpit ketakutan. Apalagi dalam pandangannya ia melihat, sekumpulan prajurit setan berpesta-pora. Mereka sedang bersuka-cita, sebab akan memangsa satria tampan yang tersesat di hutan wilayah para setan.
Pada saat yang genting itu, keluarlah aura keluarga Pandawa ini. Sinar kesatriaan Raden Sadewa muncul. Tubuhnya yang bersih itu tiba-tiba memancarkan sinar warna-warni, menyerupai pelangi yang indah. Sinar itu membalut seluruh tubuhnya.
Tak lama kemudian, alam pun nampaknya tak mau diam. Hujan rintik-rintik turun. Angin ribut datang disusul gempa. Bumi bergerak-gerak seakan hendak terbelah. Sedang di angkasa, kilatan sinar bergemerlapan. Guruh memecah langit. Dan arahnya, menembus rerimbunan pohon hutan ini.
Saat itulah para setan gentayangan itu lari semburat. Senjata yang dibawanya tersapu bersih. Dan dalam sekejab, bumi menjadi terang benderang.
Melihat pasukannya kabur, Ranini, Ratu para makhluk halus itu turun ke bumi. Ia terusik untuk menghadapi sendiri Raden Sadewa. Kata Ranini : "Sekarang kamu pasti mati, Sadewa. Lihat baik-baik tubuhku. Tidakkah kau takut melihat rupaku? Sekarang berakhir kesedihanku."
Ranini pun tak cuma menunjukkan muka seramnya. Ia juga menakut-nakuti Raden Sadewa. Pisau penyembelihan diletakkan di leher satria penengah Pandawa itu. Namun Raden Sadewa tak menunjukkan rasa takut. Ketakutannya telah berubah menjadi keberanian.
Melihat sikap Raden Sadewa itu, tiba-tiba raksesi ini melepas ujung kainnya. Ia telanjang. Sikapnya berubah manis. Sambil mimiknya seperti terbuai birahi, ia berkata pada Raden Sadewa. "Wahai manusiaku, Sadewa! Saya minta belas kasihanmu. Hendaknyalah aku kau lepaskan dari malapetaka ini. Kini kuminta kasih sayangmu terhadapku."
Mendengar itu Sadewa menyembah. Ia tahu siapa Ranini sebenarnya. Ia pun berucap. "Daulat Tuanku. Hamba ini tak dapat melepaskan paduka Hyang Dewi. Jangankan melepas Hyang Dewi, melepaskan orang biasa saja, hamba, si Sadewa tak dapat. Maaf Dewi, hamba ini tak dapat melepaskan Paduka Tuanku".
Jawaban Raden Sadewa itu membangkitkan amarah Ranini. Dengan suara lantang ia menjawab ketus. "Ah, sesungguhnya engkau hanya segan saja melepaskan aku. Dan jika kamu terus-menerus enggan melepaskan, maka kamu sekarang akan kubunuh. Mustahil kamu akan hidup seterusnya."
Mendengar ancaman itu Raden Sadewa tak surut. Ia justru seperti menantang. Katanya : "Tuanku, hamba akan senang menemui maut. Jika hamba mati, paduka Hyang Ayu terlepas dari derita. Dengan begitu, kalau hamba menjadi santapan paduka, maka sama saja dengan hamba lepas dari segala dosa."
Mendengar jawaban itu, Hyang Mahadewi menjadi sangat marah. Ia mengambil parang. Menjerit-jerit dengan suara melengking. Ia menendang-nendang, hingga para dewa yang ada di swargaloka terperanjat. Sebab tak biasanya Hyang Dewi murka seperti itu. Sadewa benar-benar sedang dalam bahaya.


Kayangan Geger, Narada ke Bumi

Sejenak kita tinggalkan Raden Sadewa yang akan dimangsa Ranini. Kini kisah beralih ke Marcapada. Tragedi yang bakal menimpa Raden Sadewa telah membuat para dewa di kahyangan geger. Tak terkecuali Hyang Narada.
Saat itu Hyang Narada sedang melanglang buana. Ia terpana ketika melihat ke bumi. Di negeri manusia itu sedang terlihat sesuatu. Sinar keputihan memancar dengan terang, dan membungkus tubuh seseorang.
Hyang Narada pun berhenti. Matanya menatap tajam ke bawah, berusaha mengenali sinar yang terang benderang itu. Namun sejauh itu ia masih belum melihat jelas, tubuh siapakah yang terbungkus sinar itu. "Apakah gerangan itu?"
Pertanyaan itu timbul di dalam hati Hyang Narada. Ia sangat takjub melihat cahaya gemerlap yang sambung-menyambung. Dan ketika Hyang Narada sudah mendekat bumi, kini ia menyaksikan, bahwa manusia yang tubuhnya terbungkus sinar itu adalah Raden Sadewa. Ia ada dalam bahaya, karena diancam maut.
"Wah, bagaimana ini? Jika Sadewa mati, maka tak bisa tidak, sesuai dengan perjanjian, semua Pandawa akan musnah. Bukankah mereka telah berjanji, mati seorang mati semua."
Hyang Narada pun bergegas kembali ke istana para dewa. Ia berkata sendiri dengan nada panik. "Pasti mati nanti Sadewa ini. Baiknya aku beritahu Hyang Madewa. Ya, ya Hyang yang bersinar itu hendaknya kuberi tahu."
Hyang Narada terbang bak kilat. Ia naik ke sorga. Menuju wilayah indah itu, dimana Hyang Madewa berada. Ketika mereka bertemu, mereka pun bercakap-cakap dengan serius. Hyang Madewa berkata: "Selamat datang Tuan, mengapa Tuan tampak tergesa-gesa, berilah tahu hamba karena hamba merasa khawatir."
Hyang Narada berkata: "Hamba beritahu, bahwa Sadewa kini mengibakan. Ia mendapat kecelakaan di Setra. Pasti ia takkan hidup lagi."
Mereka berdua lalu diam. Tak ada yang mengeluarkan kata-kata. Hyang Madewa menangis. Mereka bingung. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Sebab mereka tak berani merebut Raden Sadewa dari tangan Ranini. Itu tentu akan sia-sia saja.
Untuk itu, kini Maha Hyang Madewa dan Hyang Naradamasuk ke dalam istana. Mereka ingin menyampaikan kabar duka itu pada Hyang Guru.
Saat keduanya bertemu Hyang Guru, raja para dewa ini sedang dihadap para dewa. Hyang Madewa berkata sambil menyembah. Mereka memberitahu segala persoalan yang sedang terjadi di dunia. Setelah selesai menuturkan peristiwa antara Raden Sadewa dengan Ranini, Hyang Guru pun berkata: "Kalau begitu aku akan merebutnya. Siapa lagi yang akan merebut, jika tak sama-sama dewa. Kasihan si Sadewa itu. Baiklah, aku saja yang merebutnya sekarang juga," katanya.
Hyang Guru kini turun ke dunia manusia. Ia masuk ke Setra Gondomayit, dan menemui Sadewa. Berkatalah Hyang Guru itu. "Sadewa, jangan kamu khawatir. Lepaskanlah Hyang Huma. Caranya, aku akan masuk ke dalam badanmu." Sadewa menjunjung perintah itu. Ia akan melepaskan Sang Hyang Ayu.

Gondomayit Jadi Taman Bunga


Istana Setra sunyi senyap. Keadaannya kosong melompong. Tampak sepasang pohon kapuk hutan berbunga merah. Sedang bambu muda berderet menyerupai tiang-tiang upacara tegak terpancang sepanjang jalan. Maklum, karena pohon kepuh dan pohon kapuk itu memang merupakan hiasan tempat itu.
Di dekat istana ini, sepasang burung bangau tampak berdiri tak bergerak di dekat pintu. Sedang sepasang burung Culik dan Dares (burung Hantu), seakan-akan sedang menanti perintah. Menjadi duta untuk mengambil nyawa manusia. Memang itulah tugasnya.
Hyang Guru telah masuk ke dalam badan Sadewa. Kini ia sanggup melepaskan sang Dewi Uma. Ia berkata: "Hamba si Sadewa, akan melepaskan paduka Hyang. Hamba mohon maaf sebelumnya." Setelah itu ia berdiri memusatkan fikiran. Kakinya disatukan. Menyucikan jiwanya. Suci bersih tak ada noda. Kini tak ada lagi yang membuat hatinya gelap. Diambillah beras kuning dan bunga tabur. Bunga itu digenggamnya. Ia merenung dan bersemedi. Setelah itu Semar membunyikan kelinting upacara.Raden Sadewa kini mendekati Hyang Dewi. Ia menenteramkan hatinya. Tak lama setelah itu Hyang Ayu mendengar mantra Hung-kara diucapkan Sadewa. Dilantunkan dengan merdu. Suaranya bergema ke langit tertinggi. Mengusik seisi jagat raya.Setelah itu ia mengambil beras kuning. Beras itu ditaburkan bersamaan dengan bunga tabur. Ia menaburkannya ke tubuh Ranini. Tak lama kemudian Ranini pun menjerit. Ia melengking panjang. Dan seketika itu terlepaslah ujud Durganya. Ranini berganti rupa. Ia kembali menjadi Hyang Ayu yang cantik jelita. Penglihatannya menjadi terang. Cuaca kembali terang-benderang. Ia menengadah. Melihat hujan yang turun rintik-rintik. Diikuti angin sepoi-sepoi basah sampai mahatari mulai terbenam.Perubahan Ranini kembali menjadi Hyang Ayu itu juga disusul dengan perubahan para hantu. Yang perempuan menjadi bidadari dan yang laki-laki bidadara. Kerajaan Setra kini pun tak menakutkan lagi. Kerajaan itu menjadi taman bunga. Sangat indah, penuh dengan bunga aneka warna. Asoka sedang berkembang sangat eloknya. Di empat penjuru taman terdapat balai tajuk, di tengah-tengah terdapat kolam pemandian.Hyang Ayu menundukkan kepala memandang permukaan kolam, bercermin dan melihat, bahwa ia sekarang telah kembali cantik jelita. "Ah, kini sungguh sudah terlepas dari noda." Begitu ungkapnya, yang disuarakan dengan manis dan perlahan-lahan: "Wahai, manusia Sadewa, sekarang aku sudah lepas dari derita. Aku sangat berhutang budi kepadamu. Sadewa kamu kini kuangkat menjadi puteraku. Kuganti namamu menjadi Sudamala, karena kamu telah melepaskan aku dari mala petaka. Dan kamu juga telah terlepas dari segala dosa, selamat selanjutnya. Masih ada anugerahku kepadamu. Hendaknyalah kamu, Sudamala, kawin! Kusuruh kamu pergi ke Prangalas. Berangkatlah kamu segera menuju ke daerah timur laut. Temui si Tamba Petra. Ia mempunyai dua orang anak perempuan. Cantik semua, bernama Soka dan Perdapa. Itu nanti menjadi jodohmu. Terimalah ini, senjata untuk membunuh seterumu! Berangkatlah segera, wahai Sudamala." Sudamala menyembah, sujud memohon diri.


Guna-gunai Suami, Kalika di Neraka


Para setan semuanya telah berubah. Mereka terbebas dari kutukan dan kembali pada wujut aslinya. Namun perubahan itu ternyata tak terjadi pada Kalika. Raksasa itu tetap menjadi raksesi. Wajahnya menyeramkan. Tubuhnya penuh kudis. Dan kalau tertawa membuat merinding bulu kuduk. Ia pun menghiba pada Sadewa. Katanya, "Tuanku, Kalika ini hendaknya juga tuan lepaskan."Tapi apa jawab Sadewa? "Kalika, aku tidak melepaskan kamu dari dosa nodamu. Dosa-dosamu itu berasal dari kebiasaanmu memberi guna-guna kepada suami-suamimu. Itu termasuk dosa dan noda yang sangat besar." Semar menyahuti. "Selain itu, dia juga yang memanggil semua hantu-hantu berkumpul di Setra ini untuk menakut-nakuti hamba."Mendengar itu Kalika pun menangis meratap-ratap. Ia bergulung-gulung di atas tanah. Jemu berguling ia duduk berjongkok. Tampak sesuatu yang menyerupai moncong, menonjol di bawah kainnya. Ki Semar pun menunjuk-nunjuk dengan telunjuk. Kata Ki Semar."Kamu ingin lepas wahai Kalika? Jika demikian sayalah yang akan melepaskan!" Kalika pun senang hatinya. Ia berharap Semar bisa melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sadewa. Ia pun menyahuti. "Semoga selamat bahagia, wahai Ki Semar."Ia mengucapkan kata-kata itu dengan maksud minta dibelaskasihani. "Wahai kakakku orang yang ganteng, bagus dan muda belia yang menjadi incaran gadis-gadis dan janda-janda muda. Mereka semua berhasrat menjadi istri bergilir bagimu." Ki Semar tersenyum. Ia mengerti maksud Kalika mengucapkan kata-kata yang menyenangkan itu. "Nah, sekarang aku bersedia melepaskan kamu, siapkan saja rangkaian upacaranya. Semua sesaji makanan dan lain-lainnya. Semuanya harus lengkap." "Baik, saya akan memenuhi semua itu. Berapa saja beayanya, selaksa atau dua laksa." Semar tertawa dalam hati. "Nah lekas-lakas bawa kemari. Nasi sebakul penuh, beserta ulam panggang di talam, dan tuak satu guci. Lekas-lekas pergi memasak dan letakkan semua di tengah-tengah halaman." Selesai sudah semuanya. Kalika telah memasak segalanya dan telah siap tersedia di halaman. Semar pun menyingsingkan kainnya sambil menyuruh Kalika pergi. "Kalika, pergi jauh-jauh dari sini, jangan sampai kau melihat. Ini tak boleh dilihat oleh siapa pun juga." Setelah itu Semar mulai makan sekenyang-kenyangnya. Habis nasi sebakul. Tuak satu goci penuh. Bahkan kulit dan tulang ikan pun tak ada yang tersisa.Semar kini melepaskan sabuknya. Habis tuntas tak ketinggalan sedikit pun juga. Sampai sisa ekor panggang saja tidak ada. Namun tatkala belum juga ada perubahan pada phisik Kalika, maka raksasa betina ini pun sekarang tahu, bahwa kata-kata Semar itu hanya berujut kata-kata, bukan mantra. Sesungguhnya Semar menipunya. Kalika pun sesengggukan. Ia merasa ditipu mentah-mentah. Sudah habis biaya banyak, kelelahan, tetapi wujutnya belum berubah. Tetap menjadi raseksi yang jelek rupa.Sang Hyang Dewi yang telah kembali pada wajahnya yang cantik jelita mulai berkemas kembali ke sorga. Niat itu sudah lama terpendam. Begitu pula dengan para bidadari semuanya. Mereka telah lama merindukan itu. Tak lama kemudian mereka pun terbang ke angkasa bersama Hyang Uma. Saat semuanya naik ke sorga itu, sayup-sayup sampai terdengar tangis Kalika. Ia menyesali diri sendiri. Bahkan saat Sudamala berkata: "Nah selamat tinggal Kalika. Pesanku, tunggulah di sini. Tugasmu menjaga taman, kelak aku akan melepaskan kamu. Baik-baiklah kamu di sini! Aku akan berangkat meninggalkan taman." Kalika tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam. Perlahan-lahan ia menyahuti pesan Sadewa. "Selamat jalan tuan, semoga bahagia seterusnya." Hari itu Hyang Ayu beserta pengiringnya beranjak pergi. Perjalanannya bakal mengubah segalanya. Ia berhenti untuk beristirahat sebentar di taman Banjaransari. Kabar kedatangan Hyang Ayu mengguncang jagat raya. Para bidadari di sorga telah mendengar berita itu. Termasuk saat Hyang Ayu tiba dan beristirahat di taman Banjaran Puspa. Kini semua dewa bergegas menjemputnya. Berdengung-dengung suara terompet. Riuh suara gamelan dan bunyi-bunyian. Dan dimana-mana tampak payung kertas tanda kebesaran. Bentuknya sangat indah. Sungguh elok, serasi dengan barisan kehormatan yang menyambut. Termasuk para bidadari yang kini memenuhi istana para dewa ini.Hyang Ayu duduk. Ia diusung di dalam tandu yang dihias serba emas yang menerawang. Diperindah dengan permata yang berkilauan, hingga nampak menyala-nyala. Mengerdip-ngerdip jika sedang bergerak. Para pemikul tandu itu terdiri dari para bidadari yang diiring para dewa. Setelah sampai di sorga, rombongan segera masuk ke dalam istana. Telah sempurna segala-galanya. Kini Hyang Ayu tampak muda belia, berjajar dengan Hyang Guru.

Sadewa Sembuhkan Tambapetra


Sang Hyang Ayu telah menyatu di istana para dewa. Ia tenteram lahir bathin. Telah terbebas dari kutukan. Termasuk seluruh bidadarinya. Sekarang dikisahkan perjalanan Sudamala. Ia telah tiba di daerah yang ditunjukkan Dewi Uma. Ia menuju ke halaman. Berdiri di tengah-tengah. Di tengah balai pertemuan.Tak lama kemudian keluar seorang putut menyambut Raden Sudamala. Putut itu dengan hormat menghaturkan sembah sujut. "Selamat datang tuan. Baru kali ini tuan datang kemari. Apakah Tuan seorang bidadara muda belia? Paras tuan sangat indah. Ada keperluan apakah tuan datang di daerah ini?" Raden Sudamala tak banyak menceritakan jatidirinya. Ia hanya memperkenalkan namanya, dan menyuruh Ki Putut agar memberitahu tuan rumah untuk keluar. Ia ingin menemuinya. Putut pun pergi. Masuk dalam rumah, dan memberitahu sambil menyembah. Kata Putut itu, "Tuan, ada orang baru datang. Ia masih muda, bagus rupanya. Rupa-rupanya ia seorang kesatria, namanya Sudamala. Silakan tuanku ke luar menyambutnya. Ia sangat baik budi bahasanya."Berdirilah Sang Tambapetra, nama pertapa itu. Ia dituntun Ki Putut, karena pertapa itu buta. Setelah ada di balai pertemuan, Sang Tambapetra pun dengan hormat menyambut tamunya. "Dari manakah tuanku, dan ada keperluan apa datang kemari ini. Hamba mengucap selamat datang."Raden Sudamala berkata: "Terima kasih sebesar-besarnya atas ucapan selamat datang dan penghormatan yang diberikan oleh tuan. Hamba datang kemari ini atas petunjuk dan perintah Hyang Ayu. Hamba berasal dari Indraprasta, itulah nama tempat asalku. Hamba ini Pandawa yang bungsu. Hamba datang dari Setra, melepaskan Hyang Dewi itu.Kini telah lepaslah Hyang Dewi, telah kembali naik sorga. Beliau bersabda pada waktu itu: "Kamu telah melepaskan aku dari derita. Sekarang ada seseorang, yang bernama Tambapetra. Ia menderita sakit. Hendaknya dia itu kau lepaskan juga. Di daerah Timur laut tempat tinggal Tambapetra itu ia menderita sakit buta. Mempunyai anak dua orang dara, masih muda, cantik semua, ambillah itu semua! Begitu sabda Hyang Ayu."Bagawan Tambapetra berkata di dalam hati: "Jika aku dapat lepas dari derita, aku akan sangat bahagia. Demikian juga anak-anakku. Nah semoga aku ini lekas-lekas dapat lepas. Jika aku dapat melihat lagi melalui Raden Sudamala, seandainya begitu, maka akan kuizinkan kedua anakku, Ni Soka dan Ni Padapa diambil menjadi isterinya." "Wahai Rahaden", demikian kata sang begawan "Lekas-lekas hamba ini tuan lepaskan. Lepaskan hamba dari malapetaka hamba ini." Segera Raden Sadewa mengambil bunga tabur dan mulai melakukan samadi. Ia memanjatkan doa, melakukan permohonan. Ia merenungkan Dewa Indra. Dewa itu dalam renungannya diarahkan pada mata. Dan disemayamkan di biji mata. Saat melakukan perenungan itu begawan Tambapetra disiram air suci. Apa yang kemudian terjadi?Bagawan Tumbapetra terperanjat. Ia kini kembali dapat melihat. Ia dapat melihat terangnya dunia sekeliling. Dan kembali bisa membedakan semua warna. Sang begawan girang hatinya. Ia berkata: "Sungguh sudah terbuka penglihatanku. Aku sudah bisa melihat dengan terang."Sang begawan sudah dapat melihat Raden Sudamala. Ia berkata: "Silakan Tuan masuk ke asrama menuju taman untuk bertemu dengan anak-anakku." Raden Sudamala kini diajak duduk bersama oleh begawan Tambapetra: "Putraku, Tuan, Raden Sudamala, silakan ambil tempat duduk di muka, si bapa ini duduk di tengah."

Sudamala Kencani Dua Gadis


Semua telah mengambil tempat duduk. Begawan Tambapetra berkata kepada anak-anaknya: "Sekarang saya sudah dapat melihat dengan terang! Dan yang menolongku memang muda belia dan bagus rupanya. Sekarang untuk memenuhi janjiku, kuberikan kedua anakku, Ni Soka dan Ni Pandapa. Wahai anak-anakku, lekaslah menghadap Sang Pangeran. Bawalah sirih, tempatkan di atas telancang. Lekas sambut dengan hormat kakandamu itu," kata Begawan Tambapetra.Kedua gadis itu pun berhias. Setelah itu datang dengan membawa telancang. Mereka berjalan gemulai. Melayang-layangkan selendangnya ke kanan ke kiri. Dan saat sudah di tengah ruang pertemuan, mereka menyembah Sang Pendeta. Dengan kata-kata manis, Begawan Tambapetra mulai menuntun jalannya upacara keluarga. "Anak-anakku, persembahkan sirih itu pada kakandamu." Kedua gadis itu pun mempersembahkan sirih kepada Raden Sudamala. Nampak Ni Soka dan Ni Pandapa mukanya memerah. Ia malu-malu untuk mendekatkan diri pada calon suaminya itu. "Selamat datang Pangeran, hamba persembahkan sirih kepada Tuan," kata keduanya dengan suara bergetar.Raden Sudamala menerima sirih itu. Ia pun berkata. "Nah, sudah kuterima sirih persembahanmu, silakan mundur!" Namun belum sempat dua gadis itu mundur, Begawan Tambapetra menimpali dengan kalimat manis. "Kini sirih telah diterima. Nah sekarang pergi duduk disamping kakandamu itu. Duduklah berjajar dengan Raden Sadewa!" Setelah menyembah, mereka berdua lalu duduk. Kini Ki Putut datang dengan membawa hidangan nasi, ulam, tuak serta tuak manis. Acara santap makan pun berlangsung. Begawan Tambapetra bersama Raden Sudamala yang ditemani kedua anak gadisnya. Ki Putut kembali menghidangkan arak, brem dan kilang. Mereka bersama-sama minum. Usai acara itu, Semar mulai kebagian makan. Ia nampak sangat lahap. Tambapetra pun berkata: "Hendaknyalah tempat Ni Soka dan Ni Pandapa di balai sebelah barat segera disiapkan. Dan hiasi dengan indah."Ki Putut pun berangkat menjalankan perintah. Selesai menghias dan menyiapkan segala-galanya, ia melapor Sang Begawan: "Tuanku, hamba telah selesai menghias dan menyiapkan semuanya." Sang Begawan mulai mempersilakan. "Nah puteraku, Raden Sudamala, antarkan kedua adindamu ke tempat peraduan. Temuilah mereka pada waktu sore." Raden Sudamala menyahut, "hamba mohon diri." Setelah itu ia pergi diiringi Ni Soka dan Ni Pandapa menuju balai sebelah barat.Ketika Raden Sudamala sudah berangkat, maka Semar berkata: "Nah, kini aku harus tidur sendirian. Raden Sudamala sudah mendapatkan teman, bagaimana dengan aku ini? Biarlah aku akan mengintip saja. Tapi, Ki Putut, sukakah kamu mempererat persaudaraan dengan aku? Kalau ya, tolong mintakan aku seorang gadis pada Sang Begawan.""Ah, aku takut mengatakan itu." "Kamu kan sekedar memberi tahu saja. Kalau beliau marah, tentu bukan ke kamu, tetapi kepadaku."Ki Putut pun terdiam. Ia berjalan menuruti perintah Semar. Menghadap Bagawan Tambapetra, untuk menyampaikan permintaan Semar. Ia berkata sambil menyembah kepada sang pendeta. "Tuanku, Semar mohon orang perempuan." Sang Maha Pendeta terdiam. Ia agak kebingungan. Namun tiba-tiba datang dayang-dayang yang bernama Si Satohok. Sang Pendeta pun seperti mendapat jalan keluar. Ia menyuruh Ki Putut untuk memanggil dayang-dayang itu. "Ni Satohok, coba kemarilah, kamu akan dikawinkan." Bagaimana reaksi dayang-dayang ini?Ni Satohok ternyata senang. Hatinya girang. Ia tersenyum-senyum, seraya berkomentar agar secepatnya itu dilakukan. "Wah untung besar aku ini, kalau sungguh-sungguh akan dikawinkan. Lekas-lekas sajalah, wahai Ki Putut kalau itu benar. Kamu memang sungguh-sungguh teman baikku."Mereka kini menghadap sang Pendeta. Bersama-sama menyembah. Sang begawan berkata berlahan-lahan: "Towok, kuputuskan, kamu akan kuberikan kepada Semar." "Daulat Tuanku, hamba menurut, tak akan menolak. Nah, Ki Putut, iringkan aku, bawalah ke tempat Semar lekas-lekas".

Kencani Ni Towok, Semar Jatuh


Kedatangan Ni Towok disambut dengan gembira oleh Semar. Wanita bertubuh gembrot, dengan ukuran buahdada yang sangat besar itu membuat wajah Semar berbinar. Ia berkata manis, menyambut kemunculan Ni Towok dari samping rumah. "Nini, kemarilah, siapa namamu." Hamba ini Ni Towok, kakak Semar. Hamba masih gadis, dan muda belia," kata Ni Towok manja. Matahari terbenam. Sinarnya diganti bias rembulan yang mulai menerangi bumi. Semar yang sudah dimabuk cinta itu, tubuhnya bergelenjot memepet tubuh Ni Towok. Sedang matanya nyalang, mencari tempat agar pacaran semakin afdol. Kebetulan, di dekat mereka bercengkerama, ada sebuah bangunan yang bisa dimanfaatkan. Bangunan itu sehari-hari dimanfaatkan untuk tempat orang menumbuk padi. Di tempat itu terdapat bale-bale. Dari jauh, bale-bale ini nampak kokoh. Kayunya tebal, kendati pelupuhnya jarang.Bingkai bale-bale ini memang telah lapuk. Sedang penopang pelupuh telah tak ada lagi. Namun karena pikiran Semar dan Ni Towok telah terpenuhi nafsu birahi, mereka tak melihat lagi bahaya itu. Di tempat inilah Semar berkasih-kasih. Ia berpeluk-pelukan. Dan saling mereguk nikmatnya cinta.Ketika birahi sejoli ini kian memuncak, mereka pun lupa segalanya. Bak anak kecil, keduanya asyik saling dorong-mendorong. Kadang yang memulai terlebih dulu adalah Semar. Namun di waktu lain yang melakukannya adalah Ni Towok. Saking asyiknya melakukan gerakan untuk memuaskan nafsunya, tak lama terdengar suara berkemeretak. Bingkai balai-balai yang lapuk itu patah, patah juga pelupuhnya. Semar jatuh ke bawah, suaranya bergedebum di tanah. Dan di atas Semar, masih melengket, adalah tubuh Ni Towok. Kejatuhan tubuh keduanya membuat anjing-anjing terperanjat. Tapi begitu, Semar masih tetap lengket. Ia tidak mau melepas tubuh Ni Towok yang gembrot. Padahal babi-babi yang sedang di bangunan tempat menumbuk padi itu hiruk pikuk menguik-nguik. Tubuh Semar bercampur batang padi yang dilekati kotoran. Begitu juga dengan Ni Towok. Tubuhnya penuh dedak lunak bercampur batang padi kering dan kotoran ayam. Meski demikian, mereka masih juga bercumbu-cumbuan.Namun petualangan cinta Semar itu cukup sampai disini. Tak akan ada habisnya, kalau orang mau menceritakan tingkah laku Ki Semar dan Ni Towok.

Nakula Dirayu Raksesi Kalika


Kini diceritakan tentang Raden Sadewa. Perkawinannya berlangsung dengan selamat, bahagia tak ada rintangan suatu apa. Namun saat pagi sudah berganti, dan kembali matahari terbit, maka kita tinggalkan kisah Sang Sudamala. Sekarang diceritakan tentang penderitaan Raden Sakula, yang ketika bangun, ia menangis sesenggukan.Pagi itu ia berjalan ke pemandian untuk mencuci muka. Setelah itu ia segera turun, berjalan tergesa-gesa untuk menuju kerajaan Setra. Cepat jalannya, dan tak diceritakan perjalanannya ke negeri para Raksasa itu. Setiba di Setra, ia berjumpa dengan perempuan berwajah seram yang bernama Kalika. Raksesi ini yang menunggu taman bunga. Ni Kalika berkata: "Selamat datang Raden Sudamala. Alangkah bahagia hamba ini. Tentu Tuan datang lagi itu untuk melepaskan hamba."Raden Sakula menjawab: "Aku bukan Sudamala. Aku seorang Pandawa, bernama Sakula. Kedatanganku untuk mencari adik kembarku, yaitu Sadewa. Dulu ia disiksa di sini. Jika kamu menaruh belas kasihan kepadaku, tunjukkan mana tempatnya. Seandainya ia sudah mati, di mana tempat mayatnya, aku akan ikut mati menyusul adikku itu."Ni Kalika berkata berlahan-lahan: "Ah celaka! Kukira Tuan itu Raden Sudamala. Rupa Tuan sama betul, sama-sama bagusnya dan muda belianya. Memang, adik Tuan Raden Sadewa, dulu disiksa. Hyang Batari memintanya agar ia mau melepaskan Hyang Ayu dari derita mala. Ia berhasil melepaskan, maka Hyang Ayu tak lagi murka.Ya, seakan-akan ada dewa yang masuk ke dalamnya, karena itu ia lalu sanggup melepaskan. Maka Hyang Dewi menjadi tenteram dan kembali indah perujudannya. Sang Sadewa mendapat perintah. Ia mendapat anugerah gadis. Dikawinkan oleh begawan Tambapetra, yang bertempat tinggal di Prangalas, dengan dua orang putrinya, yang cantik molek." Raden Sakula berkata: "Tapi mengapa ia yang sudah melepaskan banyak orang itu tidak melepaskan kamu juga, sehingga kamu tinggal sendirian di sini?"Ni Kalika menjawab: "Memang demikianlah kenyataannya. Dosa hamba sangat besar. Suami-suami hamba telah mati olehku, berjumlah tigapuluh lima orang, mereka semua mengalami nasib yang sama. Raden Sakula merasa heran. Dalam hatinya terguncang, mendengar pengakuan Kalika. Akhirnya ia berkata: "Apa benar begitu yang sesungguhnya? Jika benar begitu, maka kamu kutinggalkan disini sendirian, Kalika. Aku akan pergi ke pertapaan. Tunjukkan jalan yang menuju ke pertapaan itu." Kalika dengan santun menunjukkan jalan. Ia rela melepas Raden Nakula. Ia juga ikhlas untuk menjalani dharmanya. "Inilah, jalan yang membelok ke kanan itu yang menuju ke Prangalas. Handaknyalah hati-hati, Tuan." Maka berangkatlah Raden Sakula. Ia berjalan terburu-buru untuk menuju pertapaan dimana adiknya tinggal. Kerinduan telah membuat satria ini tak mengenal lelah dan capek.

Romantisme Nakula & Sadewa


Tak diceritakan perjalanan Raden Nakula. Setibanya di pertapaan, satria tampan ini berhenti berdiri di tengah halaman. Di tempat pertemuan. Ki Semar yang melihat kedatangan Raden Sakula, ia mengucap riang. "Nah, aku harus segera memberi tahu, bahwa kini sang kakak telah datang menyusul sang adik."Semar segera masuk ke dalam asrama. Ia memberitahu sang pangeran muda, yang sedang berkasih-kasihan dengan Ni Pendapa. Semar berkata: "Tuanku, kakak tuanku kini datang menyusul tuanku. Silakan tuanku keluar ke balai pertemuan untuk menjemputnya."Raden Sadewa pun hatinya riang. Ia bergegas keluar ruangan. Dengan penuh haru Raden Sadewa menemui Raden Nakula. Setelah melepas rindu, Raden Sudamala pun berkata. "Silakan kanda masuk saja ke dalam asrama." "Baiklah dinda. Jalanlah terlebih dulu, aku mengikuti dinda," jawab Raden Nakula. Setelah mereka masuk ke dalam rumah, mereka duduk di tempat yang terhormat. Saat itulah Raden Sudamala menyembah Raden Sakula.Raden Sakula berkata: "Tadi saya datang di Setra, untuk menyusul kamu, adikku. Maksudku, seandainya kamu telah mati, aku dapat melihat kuburmu, karena aku akan ikut mati juga. Akhirnya, ada seorang raksesi yang bernama Kalika. Ia memberi petunjuk jalan yang menuju ke sini. Itulah sebabnya aku dapat sampai di sini."Saat itulah Raden Sudamala (Sadewa) memanggil Ni Soka dan Ni Pandapa. Katanya, "Wahai dinda, datanglah kemari. Sambutlah kakak Sakula ini. Bawalah sirih, hidangkanlah itu segera." Ni Soka dan Ni Pendapa keduanya datang, dan menyembah pada Raden Sakula dan Raden Sadewa. Dan setelah itu disusul hidangan dari Sang Pandita, berupa nasi, ulam, brem dan tuak. Dua kakak beradik yang lama berpisah itu bersantap bersama. Selesai bersantap, maka berkatalah Sang Sadewa: "Wahai, dinda Soka, kehendakku ialah, kamu akan kuberikan pada kakakku Sakula, untuk menjadi suamimu. Sedang aku hanya akan memperistri Ni Padapa."Ni Soka berkata: "Hamba tak berkeberatan. Hamba tak akan menolak apa yang diperintahkan. Mustahil hamba akan menentangnya." Raden Sudamala berkata: "Kanda Sakula, Ni Soka hamba serahkan kepada kanda." Raden Sakula diam dan memikir-mikir. Saat itulah Raden Sudamala berkata lagi: "Kata-kata hamba ini mengandung maksud, agar kita berdua seia-sekata, sama-sama mendapat kurnia, kedua-duanya kawin." Raden Sakula pun akhirnya pasrah. Ia menjawab : "Sekarang saya menurut saja apa maunya dinda. Kendati niat saya datang kesini hanya ingin jika dinda mati saya juga ikut mati." Sejak hari itu Ni Soka resmi diambil istri oleh Raden Sakula. Upacara sederhana berlangsung. Dan setelah itu mereka bersama-sama menuju ke balai sebelah timur, untuk saling mengencani istri masing-masing.

Pandawa Diserbu Raksasa


Raden Sudamala dan Raden Sakula telah melangsungkan perkawinan. Mereka hidup bahagia, selamat dan sentosa di pertapaan Bagawan Tambapetra. Sekarang cerita berganti. Dikisahkan, Sang Kalanjaya dan Kalantaka sedang berada di negeri Hastina diiringi Delem dan Sangut.Sang Kalanjaya berkata: "Adikku Sang Kalantaka, aku mendengar berita, bahwa Ki Sadewa sekarang sudah mati. Malah Sang Sakula juga ikut mati. Keduanya sekarang ini sudah tidak ada lagi. Aku tahu itu sangat membahagiakan. Sebab yang disebut Pandawa itu adalah semuanya. Kalau ada satu atau dua yang mati, berarti lima orang itu akan mati semuanya. Untuk itu Bima, Dananjaya, dan Darmawangsa itu sekarang kita serang saja. Menurut pikiranku, mereka kita serang dan mustahil mereka tak dapat dikalahkan."Jawab Kalantaka, "Seyogyanya kita selidiki dulu, sungguhkah mereka berdua telah mati atau masih hidup. Hendaknyalah kita menyelidiki keadaan Sadewa dulu". Kalanjaya berkata: "Bagaimana cara menyelidikinya? Bukankah sudah jelas berita kematian Sadewa dan Sakula itu. Malahan sebaliknya, sekarang ini kita berkemas-kemas menyiapkan senjata. Delem dan Sangut harus secepatnya mengumpulkan segenap tentara." Berkata begitu, Kalanjaya langsung memberi instruksi pada keduanya.Mendengar perintah itu, Delem dan Sangut ragu. Ia ragu mampu mengalahkan Pandawa. Dan juga takut akan ketangguhan Pandawa. Kata Sangut pada Delem: "Aduh, hatiku cemas dan khawatir, apakah sungguh Pendawa dapat dikalahkan. Terus kalau Raden Sadewa dan Raden Sakula nanti ternyata masih hidup, bagaimana ini. Dan andaikata berita itu memutar balik kenyataan, nantinya bagaimana." Tapi itu tak berani diungkapkan pada Kalantaka dan Kalanjaya. Delem justru diam seribu bahasa dan menjawab bertolak belakang dengan perasaan hatinya. "Paduka Tuanku, perintah akan segera kulakukan. Hamba akan lekas-lekas memanggil tentara semua. Ayo Sangut, adikku jangan terlalu lama, mari kita bertindak". Mereka berdua berjalan cepat-cepat. Delem segera mengumpulkan semua prajurit untuk siap siaga. Ada prajurit yang berkata: "Apakah dosa Pandawa hingga mereka harus diserang? Bukankah Pandawa itu baik budinya, dan mereka tampak hidup tentram dan damai?"Delem tak menanggapi ucapan prajurit itu. Setelah mengumpulkan prajurit, ia pun kembali menghadap. "Tuanku, angkatan bersenjata kini telah siap siaga. Seluruh prajurit paduka akan pergi mengadakan serangan". Kalanjaya menyahuti. "Baik. Dan Dinda Kalantaka, aku akan berangkat sekarang juga. Dinda nanti hendaknyalah menyusul segera."Segera Kalanjaya dan Kalantaka berangkat diiringi segenap tentara. Sorak-sorai terdengar bergemuruh. Suara bunyi-bunyian, beri, gong besar, berdengung-dengung mengiringi keberangkatan pasukan raksasa itu. Suaranya bergemuruh memenuhi seluruh negara, seakan-akan gunung akan roboh karenanya. Bagaimana Pandawa?Para Pendawa telah mendengar, bahwa Kalanjaya dan Kalantaka sudah berangkat untuk menyerang. Sekarang Sang Darmawangsa dihadap oleh menteri hulu balang dan adik-adiknya. Sang Darmawangsa berkata: "Adikku, Dananjaya dan Bima, bagaimana sekarang ini, apa yang harus dilakukan?" Sang Bima menjawab: "Aku duluan yang akan menyerang musuh." Sang Darmawangsa menyahuti. "Jangan tergesa-gesa, Bima. Hendaknyalah Arjuna yang maju terlebih dulu bersama tentaranya, kamu belakangan saja". Mendenggar itu Raden Arjuna langsung bertindak. "Hamba mohon diri, berangkat ke medan perang, melawan musuh Pandawa".Setelah memohon diri, Raden Arjuna berangkat naik kereta, diiringi oleh tentaranya. Setelah itu Raden Bima berangkat menjadi penutup barisan, berjalan kaki sambil memegang gada. Pasukan Pandawa itu berdiri di tanah lapang. Berhenti sejenak, menunggu reaksi lawan.

Bima & Arjuna Lari Kabur


Raden Arjuna maju ke medan laga. Kedatangannya bersama pasukan disambut Kalanjaya. Kedua pasukan mulai berhadap-hadapan. Saling sesumbar untuk mengalahkan. Kendati, jarak dua pasukan ini masih berjauhan. "Memang Arjuna seimbang melawan aku. Wahai tentara, jangan lengah terhadap Arjuna. Sebab siapa pun tahu, ia adalah pemanah yang tepat dan dapat merusak barisan. Untuk itu barisan muka harus hati-hati menerima serangannya." Raden Arjuna mengamati pasukan Kalanjaya. Ia berancang-ancang, bagian mana dulu yang akan dijadikan sasaran panahnya. Ia berkata dengan dirinya sendiri. "Nah, itu Kalanjaya, barisan mukanya sangat banyak. Akan kuhabiskan tentara-tentara yang berada di depan itu. Mereka dulu yang akan menjadi sasaran anak panahku." Raden Arjuna mulai memasang panahnya. Ia membidik dan kemudian melepaskan anak panahnya. Panah itu bukan main hebatnya. Panah-panah itu seperti air hujan. Mengalir deras. Banyak tentara yang tembus dadanya, putus batang lehernya, patah pahanya, jatuh kepalanya berguling-guling di atas tanah, dan banyak pula yang patah pinggangnya. Tak lama kemudian tampak mayat bertumpuk, dan darah bercucuran memenuhi medan pertempuran. Raksasa-raksasa dan ditya-ditya banyak yang gugur. Mati berkelojotan. Kni tampak Kalanjaya. Besar badannya, berdiri garang sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuknya.Kalanjaya marah bukan kepalang. Ia berkata dengan lantang. "Wahai Arjuna, tentaraku terpukul, sekarang aku sendiri akan balas dendam. Awas, kamu jangan meninggalkan gelanggang". Saat itulah Kalanjaya melapaskan lembingnya. Namun demikian, lembing itu tak mengenai sasaran. Ia melihat itu. Tentara Pandawa tak ada yang terluka. Ia pun kian marah. Kalanjaya seperti singa yang sedang buas-buasnya. Ia berteriak-teriak, menjerit, memanggil-memanggil, menyerang barisan, dan melepaskan lembingnya ke arah Raden Arjuna.Raden Arjuna mengelak. Ia membalas dengan melepaskan panahnya. Panah itu mengenai dada Kalanjaya, tetapi tak terluka. Kalanjaya kemudian dihujani panah lagi. Tapi tubuhnya kebal, tebal tak luka oleh senjata panah. Kalanjaya malah bersumbar. "Ha, ha, Dananjaya, tombaki aku. Hujani dengan panah-panahmu, aku tak akan menyingkir. Ah, Arjuna, kalau nanti aku dapat mengejar kamu, mustahil kamu akan hidup lagi." Sesumbar Kalanjaya itu menyadarkan Arjuna. Ia kini tahu siasat Kalanjaya. Ia tak mau didekati. "Si Kalanjaya ini memang sakti. Biarlah aku lepasi panah-panah saja, agar patah tombak lembingnya". Panah Arjuna pun mulai menghujani Kalanjaya. Leher, kepala, hidung, telinga, dan matanya tertembus panah, tetapi sangat mengejutkan, tak menimbulkan luka. Akibatnya Arjuna lari meninggalkan gelanggang. Melihat pemandangan itu, Raden Bima maju." Siapakah yang kau lawan di medan perang itu. Mengapa sampai kamu lari?" Jawab Raden Arjuna. "Si Kalanjaya, kanda". "Tinggallah di sini. Aku akan melawannya. Akan kutemui si Kalanjaya dan Si Kalantaka. Dimana tempatnya? Memang sepantasnya mereka bertanding dengan aku".Kalanjaya sekarang melihat, bahwa Bima yang kini tampil ke muka. Ia pun berkata keras: "Nah, selamat datang, kau Bima, sekarang kamu maju berperang. Seimbang kamu melawan aku". Segera Raden Werkodara mendekatinya. Lekas-lekas gada digenggamnya sambil berkata. "Mampus kamu Kalanjaya". Kepala Kalanjaya dipukul dengan gada. Ia membalas dengan menusukkan tombaknya. Raden Bima kebal. Ia berkata: "Tusuk lagi aku dengan tombakmu". Raden Bima terperanjat karena Kalanjaya kini juga datang. Kalanjaya berteriak memanggil-manggil: "Bima jangan kamu meninggalkan medan perang".Raden Bima tahu sekarang, bahwa Kalantaka datang, maka ia memeluk gadanya sambil berkata: "Ah aku akan kalah karena Kalantaka memang sungguh-sungguh sakti. Raden Bima mundur dan berpapasan dengan Raden Arjuna. Kata Raden Bima: "Lekas-lekas kita mundur saja, sekarang saya terdesak". Jawab Raden Arjuna, "Baik, mari kita cepat kembali masuk dalam benteng. Tutup pintunya untuk musyawarah dulu". Tapi Kalanjaya mengejar. Ia mengejek. "Wahai, mengapa kau kalian mundur?" Mendengar ejekan itu Bima menjadi marah. Kalanjaya dipegang rambutnya, dibanting di atas batu hingga tubuhnya rata seperti tikar. Batu itu terbelah menjadi dua. Tapi begitu ditinggal, Kalanjaya bangun kembali. Berdiri mengikuti Bima dari belakang. "Ah, tunggulah saya, wahai Bima, saya belum mati. Jangan kamu lari karena terdesak". Setelah meninggalkan Kalanjaya, Raden Werkodara melihat Kalantaka ada di depannya. Ia pegang rambutnya, dicekik lehernya. Dan dipukul dengan gadanya. Tapi Kalantaka itu juga kebal. Kendati dicampakkan ke batu, ia tetap saja hidup. Pandawa pun akhirnya mundur. Saat itulah Kalanjaya dan Kalantaka nbersepakat untuk istirahat, karena menganggap sudah menjadi pemenang. "Baiknya kita beristirahat dulu. Nanti kalau kita sudah tidak jemu, kita serang lagi. Kita rusak kota benteng Pandawa itu."

Amarta Terkepung, Sadewa Pulang


Perang masih berkecamuk. Pandawa menjadi pihak yang kalah. Sekarang tidak lagi membicarakan. Itu Kita tinggalkan. Yang diceritakan kini adalah keadaan Raden Sadewa dan Raden Sakula yang masih berada di Prangalas. Raden Sudamala alias Sadewa berkata: "Kanda, kakak Bima dan kakak Arjuna telah kalah perang melawan Kalanjaya. Berita telah mengatakan, pintu gerbang kini tertutup. Mereka bersembunyi di dalam benteng. Meski belum pasti mereka sungguh-sungguh kalah, tetapi ternyata mereka telah payah". "Ya, apakah sekarang yang harus dilakukan? Kakak-kakak kini sudah berada di dalam istana, bagaimana kita sebaiknya." "Kalau begitu, mari kita cepat berangkat untuk membantunya. Jangan lama-lama".Keduanya pun segera berangkat. Setelah sampai di kota, penjaga yang melihatnya segera membuka pintu gerbang. Mereka masuk kota, dan langsung menuju ke Balai Penghadapan. Disini mereka bertemu dengan sang Darmawangsa, sang Bima dan Sang Arjuna. Mereka sedang berada di balai penghadapan. Saat itulah Raden Sudamala dan Raden Sadewa menyembah pada Sang Darmawangsa, Sang Bima dan Sang Arjuna.Sang Darmawangsa berkata: "Wahai, adik-adikku kini datang". Sang Bima berkata juga: "Sekarang adikku Si Sakula dan Sadewa tiba, dari mana dinda berdua?" Sang Arjuna berkata: "Aduhai adik-adikku. Aku sangat girang. Dari mana adik-adikku ini, beritahulah kakakmu". Raden Sudamala menjawab. "Hamba beri tahu Kanda, semula hamba bersembunyi di pertapaan Prangalas atas perintah Hyang Ayu.Sang Kunthi mendengar Raden Sadewa datang beserta Raden Sakula, keluarlah ibu Pandawa ini ke balai penghadapan. Ia berjalan cepat. Begitu melihat anaknya, maka keduanya dipeluk ditangisi, sambil berkata perlahan-lahan, menyayat hati. "Wahai, dari manakah kalian, kukira kamu berdua sudah mati. Wahai, anakku, beritahu ibu. Bagaimana kamu berdua masih hidup. Dulu setelah aku mempersembahkan kamu, aku tak bernafsu makan lagi. Aku tak mau berhias diri. Aku tak mau lagi berbedak. Aku selalu menangis, meratap dan tak mau keluar dari dalam bilik. Kini ada belas kasihan dari dewa, kalian masih hidup." Segera Raden Sudamala dan Raden Sadewa menyembah menghormat ibunya. Menangislah sang ibu itu. Raden Sudamala berkata kepada ibunya: "Hamba ini masih tetap hidup, karena ada petunjuk dari dewa yang menyebabkan hamba dapat melepaskan orang dari derita. Dari itu Hyang Dewi di Setra dapat kembali berupa Sang Hyang Ayu, dan rakyat hantu telah terlepas juga. Setra sekarang telah menjadi taman. Setelah Hyang Ayu berubah wujudnya kembali berupa seperti semula, beliau mengganti nama hamba menjadi Ki Sudamala. Itu karena hamba telah melepaskan derita mala Hyang Dewi. Beliau pun memberi anugerah berupa senjata dan memberi petunjuk mengenai jodoh hamba. Beliau bersabda, hamba harus segera pergi ke pertapaan. Di situ hamba akan menemukan jodoh hamba, dua orang gadis cantik.Gadis itu puteri begawan Tambapetra. Atas perintah beliau hamba disuruh melepaskan sang Pendeta dari derita malanya. Setelah Hyang Ayu lenyap kembali ke sorga, hamba segera berangkat menuju ke pertapaan, hamba ambil kedua gadis itu, yang seorang sama cantiknya, hamba berikan kepada putra bunda, yaitu kanda Sakula. Lalu tersiar kabar Sang Pandawa terdesak dalam perang. Sang Bima dan Sang Arjuna terpukul mundur dan tutup pintu. Hamba pun pulang."Batari Kunthi berkata: "Wahai buyung, anakku, jadinya kini kamu berdua telah kawin. Aku merasa betapa besar hutangku terhadap kalian. Aku punya nadzar jika kau kembali." Raden Sudamala menjawab. "Janganlah kita lekas-lekas bergembira. Itu nanti saja, jika hamba sudah berhasil memusnahkan musuh, kita akan bersama-sama bergembira. Dan nanti kalau Kalanjaya menyerang, si Sudamala yang akan melawannya, beserta kakak Sakula. Nanti kami berdua yang akan keluar."

Kalantaka Jadi Berubah Bidadara


Hari itu terdengar suara sorak-sorai mendekati kota. Kini Kalanjaya datang menyerang. Suaranya dari luar kota seperti halilintar. Raden Dananjaya mohon diri kepada sang ibu: "Perkenankan hamba sekarang keluar!" Setelah itu menyembahlah Raden Sudamala kepada ibunda dan kakandanya. Setelah mereka berdua menghormati dan menyembah ibu dan kakak-kakaknya, mereka berangkat membawa senjata perisai dan menggenggam keris.Kata Sang Darmawangsa."Adikku Pangeran, jangan lengah. Jika sekiranya tak kuat, mundurlah cepat-cepat". Raden Bima menyahuti. "Hati-hatilah, musuhmu kebal dan sakti". Raden Arjuna tak ketinggalan berpesan. "Jangan sampai tidak berhati-hati, Adikku". Raden Sakula dan Raden Sudamala kini keluar dari pintu diiringi tentaranya. Menggelegar suara sorak. Ketika Kalanjaya melihat Raden Sakula dan Raden Sadewa, ia nampak gembira. "Delem, siapakah yang keluar ke medan perang itu?" "Itu adalah Sang Sakula dan Sadewa, karena mereka berdua sama rupanya". Si Sangut menyahut. "Begitu kamu bilang Sadewa dan Sakula telah mati. Nah itu siapa, bukankah itu Sadewa. Wahai Delem, kamulah yang mengabarkan kematian Sadewa. Tapi kini terbukti, Sadewa masih hidup, mendapat anugerah dari dewa. Suruhlah Tuanmu sekarang berhati-hati. Itulah akibatnya jika orang tidak teliti. Akibatnya akan menimpa diri sendiri. Dalam peribahasa, itu namanya enak di muka, pahit di belakangnya". Kalanjaya berkata tenang. Ia tertawa ngakak. "Hah, ha, ha. Kau Sadewa, kau Sakula, mustahil kau berdua akan hidup seterusnya. Engkau anak kecil, masak aku takut kepadamu?". Raden Sudamala menantang. "Wahai Kalanjaya tumpahkan segala senjatamu. Mengapa aku harus mati olehmu".Raden Sadewa dan Raden Sakula bersama-sama mendekat. Mereka lalu dilepasi lembing. Tetapi lembing itu ditangkis dengan lembing yang dibawanya. Raksasa Kalanjaya didesak Raden Sadewa. Ditusuk tembus dadanya, mundur, darah pun mencucur. Kalanjaya terperanjat. Ia berteriak-teriak mengerang. Ambruk, dan matilah si Kalanjaya, yang disusul dengan tentaranya yang berlarian. Sungut juga lari tunggang-langgang, bangun jatuh lagi. Raksasa Kalantaka melihat tentaranya lari, ia pun bertanya. "Siapa itu yang maju?"Delem menghampiri Kalantaka. Ia menjawab, bahwa Kalanjaya sudah mati dibunuh Raden Sadewa. "Dulu kakak Kalanjaya mengatakan, ada berita yang mengabarkan Sadewa telah mati. Sekarang justru Sadewa yang membunuhnya. Saya telah mengerti, bahwa kita kurang teliti. Kalau saya mundur, niscaya saya tak mati. Tetapi saya fikir-fikir, lebih baik lekas-lekas maju saja".Mendengar kakaknya mati, Kalantaka menjadi marah. "Jangan kau mundur wahai Sadewa. Aku lawanmu berperang". Ia berteriak, menjerit sambil memegang lembing. Ia melepaskan lembingnya ke arah Raden Sudamala. "Matilah kau, Sadewa." Lembing terlepas sudah. Untuk kedua kalinya Raden Sadewa ditusuk dengan lembing. Tetapi masih tetap berdiri di tempat. Raden Sakula bersiaga. Saat Kalantaka akan menelan tubuh Raden Sakula, ditusuklah dada raksasa ini hingga tembus. Raden Sadewa juga ikut menusukkan senjatanya. Raksasa itu jatuh menjerit.Matilah sekarang si Kalantaka. Tentaranya habis, lari mengikuti tentara Kalanjaya yang sudah kabur duluan. Raden Sudamala sekarang mengelilingi gelanggang perang bersama Raden Sakula. "Marilah kita kembali pulang Kanda", demikian kata sang Sudamala. Namun sebelum kedua satria ini beranjak pergi, tiba-tiba datang dua orang bidadara. Wajahnya ganteng, muda belia, mereka berjalan menuju Raden Sadewa. Bidadara itu sangat menarik. Sama-sama tampan dan sopan. Mereka disambut Raden Sadewa dan Raden Sakula. "Tuan, dari manakah Tuan ini. Hamba mengucapkan selamat atas kedatangan Tuan. Beritahulah hamba, tentang maksud kedatangan tuan. Apakah tuan itu dewa atau manusia, ataukah bidadara?" Mereka menjawab perlahan-lahan. "Kami ini bukan manusia atau dewa, tetapi bidadara, yang tadi berupa raksasa Kalanjaya dan Kalantaka. Kedatangan kami bermaksud memberitahu, bahwa sangat besar hutang kami. Kalian telah melepaskan kami, sehingga kembali berubah menjadi bidadara seperti sekarang ini. Buyung Sudamala, kami adalah Citranggada dan Citrasena. Kami berdua telah kau lepaskan dari derita, setelah kami diturunkan ke Setra. Itu akibat kutuk yang kami terima dari Sang Hyang Guru.Setelah sampai pada batas waktu penderitaan kami menjadi raksasa kamu melepaskan kami. Karena itu besar hutangku kepadamu. Kami kini telah sungguh-sungguh lepas dari derita karenamu, Sudamala. Terlepas semua dari derita, teruskanlah hidup bersama-sama, wahai Pandawa. Panjang umur, selamat hidup bertahun-tahun. Pandawa tetap hidup semua. Dan Pandawa selamat sejahtera."Juga yang menuliskan cerita ini, semoga hidup sehat, tak kena penyakit, panjang umur sampai mempunyai cicit, termasuk juga para pembaca semua. Juga para pendengar kisah pelepasan ini, akan ikut terlepas dari derita dan noda, dan terbebas dari semua rintangan dan halangan. Demikian juga yang telah mendengar cerita ini sampai tamat. Segera setelah bicara begitu, kedua bidadara itu pergi pulang kembali ke sorga. Ditinggalkanlah Raden Sudamala. Beliau pun pulang, kembali ke istana. (Djoko Suud Sukahar)

Tidak ada komentar: